Sabtu, 08 Agustus 2009

Sejarah & Perkembangan Inseminasi Buatan (IB)

INSEMINASI BUATAN (IB)/artificial insemination (AI) pada hewan peliharaan sudah lama sekali dilakukan sejak berabad-abad yang lalu. Dan perkembangan IB sekarang ini sudah semakin pesat dengan aplikasinya yang telah merambah kehampir semua jenis ternak di dunia, seperti ternak ruminansia (sapi, kambing, domba, kerbau), pseudoruminansia (kuda), nonruminansia (babi, kelinci), maupun unggas. Artikel tentang Teknologi IB pada ternak unggas “Pelestarian Plasma Nutfah” dan “IB pada Kambing dan Domba” sudah dijelaskan dalam artikel rubrik Teknologi SM edisi (22/12) tahun lalu dan rubrik Ragam (20/2). Meskipun IB pada unggas dan kelinci belum sepopuler pada ternak ruminansia, namun berdasarkan beberapa penelitian di dalam dan diluar negeri sudah bisa diaplikasikan. Lantas, bagaimana dan kapan sih awal mula teknik Inseminasi Buatan (IB) dimulai hingga sampai ke Indonesia?
Sejarah IB bermula dari kecerdasan seorang pangeran Arab yang sedang berperang pada abad 14 merasa kagum pada kuda jantan yang ditunggangi lawan karena berperawakan tinggi, gagah, dan larinya sangat cepat. Pada saat itu kuda betina yang ditunggangi sang Pangeran sedang birahi. Sang Pangeran yang cerdik selanjutnya mencuri semen (sperma bercampur plasma/cairan sperma) dalam vagina kuda betina musuh yang baru saja dikawinkan dengan kuda jantan unggul yang terkenal dengan performannya tinggi, gagah, dan mampu berlari dengan sangat cepat. Semen diambil menggunakan tampon kapas, kemudian dimasukkan dalam vagina kuda betinanya yang sedang berahi. Alhasil, kuda betinanya bunting dan akhirnya lahirlah kuda baru yang gagah, tinggi, dan sangat cepat larinya. Namun pada masa itu belum ada penelitian ilmiah atau catatan mengenai pelaksanaan IB menggunakan teknik tersebut.

Bapak Inseminasi
Setelah 3 abad berlalu, mulailah gencar dilakukan pengamatan reproduksi. Tahun 1677 Anthony Van Leeuwenhoek penemu mikroskop dan muridnya Johan Amm, bisa melihat sel kelamin jantan menggunakan mikroskop buatannya sendiri. Mereka menyebut sel kelamin jantan yang tak terhitung jumlahnya tersebut dengan animalcules atau animalculae yang berarti jasad renik yang mempunyai daya gerak maju progresif. Sel kelamin jantan itu sekarang dikenal dengan spermatozoa. Satu tahun kemudian 1678 seorang dokter dan anatomi dari Belanda Reijnier (Regner) De Graaf menemukan folikel pada ovarium kelinci. Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut, penelitian selanjutnya mengarah pada kawin suntik (IB).
Penelitian ilmiah pertama kali dalam bidang IB hewan piaraan (pet) dilakukan oleh ahli fisiologi dan anatomi asal Italia tahun 1780, yakni Lazzaro Spallanzani. Setelah sukses melakukan percobaan IB pada amfibi, dia terinspirasi untuk mencoba pada anjing peliharaannya yang tiba-tiba birahi menggunakan spuit lancip dan langsung dideposisikan ke dalam uterus. Setelah 60 hari inseminasi, lahirlah 3 anak anjing yang mirip induk dan pejantan yang diambil semennya. Tahun 1782, penelitian tersebut dilanjutkan oleh P. Rossi dengan hasil yang juga memuaskan.
Lazzaro Spllanzani juga membuktikan bahwa daya pembuahan (fertilisasi) semen terletak pada spermatozoanya, bukan pada cairan (plasma) semen. Tahun berikutnya 1803, Lazzaro Spallanzani menyumbangkan kembali keilmuannya tentang pengaruh pendinginan (pembekuan) terhadap viabilitas (daya hidup spermatozoa). Dia berhasil membuktikan bahwa semen kuda yang dibekukan dalam salju atau hawa musim dingin tidak selamanya membunuh spermatozoa, tetapi mempertahankannya dalam keadaan tidak bergerak dan bisa digerakkan kembali dengan dikenai panas (dicairkan). Sperma tersebut mampu bergerak hingga tujuh setengah jam. Berkat jasa-jasanya keilmuannya dalam bidang fisiologi reproduksi, Lazzaro Spallanzani mendapatkan kehormatan sebagai “Bapak Inseminasi”.
Sejarah IB di Eropa
IB di Eropa pertama kali diperkenalkan oleh seorang dokter hewan asal Perancis tahun 1890, yaitu Repiquet. Dia menjelaskan pemakaian teknik IB sebagai salah satu cara mengatasi kemajiran. Namun, hasil-hasil penelitiannya masih belum memuaskan. Kemudian Prof Hoffman dan Stuttgart dari Jerman mencoba mengatasi kegagalan tersebut dengan menganjurkan agar IB dilakukan pasca kawin alam. Caranya, vagina kuda yang telah dikawinkan alam dikuakkan, kemudian semen diambil dengan spuit. Semen dicampurkan dengan susu sapi untuk kemudian di IB-kan kembali pada kuda betina tersebut. Meskipun cukup berhasil, namun cara ini diakui banyak kelemahan dan kurang praktis dilaksanakan.
Tahun 1899, Direktur Peternakan Kuda Kerajaan Rusia yang berusaha memajukan peternakan menarik peneliti dan pelopor bidang IB yakni Ellia I. Evannoff untuk kemungkinan penggunaan IB. Ellia I. Evannoff selain berhasil mengembangkan ternak kuda juga sukses menginseminasi untuk pertama kalinya hewan ternak jenis sapi dan domba.
Tahun 1902, Sand dan Stripbold asal Denmark berhasil menemukan 4 konsepsi posisi IB yang tepat dari 8 ekor kuda betina yang di IB. Mereka menganjurkan penggunaan IB karena ekonomis penggunaan dan penyebarannya dari kuda yang berharga dan bisa memajukan peternakan pada umumnya. Kesuksesan terbesar hasil IB pertama kalinya diraih Askaniya-Nova (1912), menghasilkan 31 konsepsi (angka kebuntingan) dari 39 kuda betina yang di IB, sedangkan dengan kawin alam hanya 10 konsepsi dari 23 yang di IB.
Tahun 1914, Geuseppe Amantea seorang Guru Besar Fisiologi Manusia di Roma, banyak melakukan penelitian tentang spermatozoatologi dengan hewan percobaan anjing, merpati dan ayam berhasil membuat vagina buatan pertama untuk anjing. Selanjutnya berkembang penelitian-penelitian membuat vagina buatan pada sapi, kuda, dan domba. Tahun 1926, Roemelle membuat vagina buatan sapi yang pertama kali, tahun 1931 Fred F. Mckenzie asal Amerika Serikat berhasil membuat vagina buatan pada domba dan kambing. Untuk memperlancar pelaksanaan IB, tahun 1938 Prof Enos J. Perry mendirikan koperasi IB yang pertama kali di New Jersey, Amerika Serikat.
IB semakin berkembang pesat sejak ditemukannya teknologi pembekuan semen beku sapi dalam bentuk straw tahun 1940 oleh Sorensen (Denmark) dan kemudian disempurnakan oleh Cassau dari Perancis. C. Polge, A.U. Smith dan A.S. Parkes dari Inggris tahun 1949, mampu menyimpan semen dalam waktu lama dengan suhu pembekuan mencapai -79 oC menggunakan dry ice (CO2 padat) sebagai pembeku dan gliserol sebagai pengawet sekaligus pencegah cekaman dingin (cold shock) yang dapat merusak membran sperma. Pembekuan ini disempurnakan lagi dengan ditemukannya Nitrogen Cair sebagai pembeku hingga suhu -169 OC dan hingga sekarang ini telah banyak digunakan di Balai Inseminasi Buatan di Indonesia menggunakan Bejana N2 cair (container).
Sejarah IB di Indonesia
IB di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Prof B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Kemudian, dalam program Rangka Kesejahteraan Istimewa (RKI) waktu itu, didirikanlah beberapa stasiun IB di beberapa daerah seperti Jawa Tengah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi), dan Bali (Baturati). Aktivitas IB pada saat itu bersifat timbul-tenggelam yang berdampak pada kurangnya kepercayaan masyarakat akan IB.
Tahun 1959, perkembangan dan aplikasi IB di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan oleh FKH IPB dengan menggunakan semen cair untuk memperbaiki mutu genetik sapi perah dan belum terpikirkan IB pada sapi potong seperti sekarang ini. Tahun 1965, kondisi keuangan negara, ekonomi, politik dan keamanan dalam negeri saat itu sangat memburuk dan berdampak juga pada berhentinya aktivitas IB. Stasiun-stasiun IB yang telah didirikan sebelumnya hanya tinggal Ungaran yang bertahan.
Di Jawa Tengah, kedua Balai Pembenihan Ternak yang ditunjuk untuk melaksanakan IB sejak tahun 1953, di Mirit dengan tujuan Ongolisasi dengan semen Sumba Ongole (SO) dan Ungaran untuk tujuan menciptakan ternak serba guna terutama produksi susu menggunakan pejantan Frisien Holstein (FH). Namun, Balai Pembibitan Ternak Mirit kurang berhasil menjalankan tugasnya dan hanya Ungaran yang akhirnya pada tahun 1970 diubah menjadi Balai Inseminasi Buatan (BIB) Ungaran yang survive hingga sekarang ini.
Ketidak suksesan IB antara tahun 1960-1970 disebabkan oleh bentuk semen yang digunakan masih berupa semen cair dengan waktu simpan terbatas dan memerlukan alat simpan besar, sehingga menyulitkan di lapangan. Disisi lain perekonomian ketika itu masih sulit, sehingga subsektor peternakan kurang diperhatikan.
Tahun 1969 dimulai pelaksanaan program REPELITA dan subsektor peternakan juga ikut dikembangkan. Pemerintah menyediakan dana dan fasilitas yang menunjang subsektor peternakan termasuk IB. Tahun 1973 pemerintah mendapatkan bantuan semen beku gratis dari pemerintah Inggris dan Selandia Baru. Tahun 1976, pemerintah Selandia Baru membantu pendirian Balai Inseminasi Buatan Lembang, Bandung Jawa Barat yang dikhususkan sebagai pusat produksi semen beku dalam negeri. Sapi-sapi jantan bangsa Eropa di datangkan langsung dari Selandia Baru, sedangkan pejantan Ongole dan Bali diambil dari Pulau Sumba dan Bali. Selanjutnya tahun 1977, mendirikan Pabrik semen beku di Wonocolo, Suranaya yang akhirnya dipindahkan ke Singosari, Malang Jawa Timur menjadi Balai Inseminasi Buatan Singosari. Produksi semen beku dalam bentuk ministraw makin meningkat dari tahun ke tahun dan disebarkan ke seluruh propinsi pelaksana IB di Indonesia.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com